Dancing Red Rose

Ketika Egoisme Mencuat

Mungkin ini judul blog saya yang kedua, setelah saya angkat tema tentang peran guru di era pandemi Covid-19. Utamanya tanggal 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional, dan juga harapannya sebagai kebangkitan guru blogger Indonesia. Terinspirasi oleh Omjay, seorang Guru Blogger senior, aktivis PGRI juga. Beliau menginspirasi para guru untuk menulis, satu hari satu blog. Mungkin ini satu langkah untuk mengikuti jejak beliau walau belum bisa maksimal. Namun setidaknya ada usaha untuk memfokuskan pikiran dalam suasana kesibukan sehari-hari. Tidak mudah memang, membagi waktu untuk fokus menulis dalam kepadatan jadwal. Kecuali memang karena faktor kebiasaan dan profesionalisme. Istilahnya bisa membuat skala prioritas. 
Ketika Egoisme Mencuat, mungkin ini judul yang tidak nyambung dengan materi yang sedang tren. Namun pada kenyataannya, egoisme menjadi faktor penentu harmonisme perputaran kehidupan. Saya bukan seorang psikolog ataupun ahli bahasa, semoga saja istilah yang saya pakai tidak menyalahi makna lazimnya. Menurut Wikipedia, egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Secara umum, egoisme berarti mementingkan diri sendiri. Hal ini sering terjadi ketika terjadi benturan kepentingan. Terkadang, berbagai kepentingan maupun urusan datang secara bersamaan. Ibarat ada banyak potongan kayu dengan banyak ukuran dan dengan posisi malang melintang. Ada yang runcing ada yang tumpul.  Sebelum ada penataan ulang, kayu-kayu tersebut akan tampak berantakan dan menghabiskan banyak tempat. Jika dilihat secara kasat mata, sungguh menimbulkan pemandangan yang tidak nyaman dan bisa membahayakan orang lain yang melintas di dekatnya. Namun ada satu pandangan yang terkadang berbeda. Ada pandangan bahwa setumpuk kayu yang dengan posisi malang melintang itu justru bernilai seni. Itulah seni kehidupan. Tanpa harus menata ulang yang menghabiskan waktu dan tenaga, kondisi itu justru terlihat natural. 
Nah, dari analogi setumpuk kayu itu, bagaimana egoisme menjadi ruh dalam seni kehidupan. Banyak orang yang mengeluhkan adanya kondisi tidak nyaman, labil dan cenderung ingin berontak. Benturan-benturan perasaan mungkin terjadi. Tapi haruskah selalu mengedepankan keinginan. Di sinilah fungsi norma, aturan dan tatanan kehidupan. Runcingnya anggapan tentang pembenaran diri sendiri harus dilapisi dengan plat tebal berupa rasa toleransi sehingga tidak berpotensi melukai kepentingan orang lain. Egoisme tidak lagi mencuat dan siap menggores permukaan dinding rasa manusia di sekitarnya.  Salam

7 comments: